Rabu, 22 Oktober 2014

Ji Zha Menggantung Pedang



Cerita Budi Pekerti

Ji Zha Menggantung Pedang

Ji Zha hidup pada masa pemerintahan Dinasti Zhou, merupakan pangeran dari Negeri Wu. Suatu kali, Ji Zha diutus berkunjung ke Negeri Lu (sekarang adalah Provinsi Shandong, Tiongkok, tempat yang sering dikaitkan dengan keberadaan Konfucius), di tengah perjalanan dia singgah di Negeri  Xu, bermaksud untuk mengunjungi Raja Negeri Xu. Raja Xu begitu bertemu dengan Ji Zha, langsung tergugah oleh kepribadian yang dimilikinya. Raja Xu mengamati pesona yang dimiliki Ji Zha, tiba-tiba matanya tertuju pada sebilah pedang berkilau yang tergantung di pinggangnya. Jaman dahulu kala, pedang merupakan sejenis perhiasan, juga melambangkan sebuah tata krama. Baik ksatria, pejabat, jenderal atau perdana menteri, pada umumnya akan membawa serta sebilah pedang bersama dirinya.

Pedang Ji Zha yang berkilauan ini memancarkan sebuah semangat, desainnya yang sempurna dengan tampilan yang lembut, beberapa butir permata menghiasi di sekelilingnya, indah namun tak pudar akan kewibawaan. Hanya mereka yang berkepribadian dan penuh kewibawaan barulah sesuai menyandang pedang ini. Raja Xu meskipun amat mendambakan pedang tersebut, namun segan mengutarakan isi hatinya. Hanya saja matanya yang terus memandangi pedang tersebut. Ji Zha diam-diam menyadarinya, berkata dalam hatinya, tunggu hingga urusanku selesai, aku akan kembali lagi mempersembahkan pedang ini kepada Raja Xu. Demi menyelesaikan tugas yang diemban sebagai duta negara, untuk sementara Ji Zha tidak bisa melepaskan pedang tersebut begitu saja.

Siapa yang menduga hidup ini begitu tak kekal, menanti hingga Ji Zha dalam perjalanan kembali setelah menyelesaikan tugasnya, Raja Xu telah mangkat. Ji Zha datang ke makam Raja Xu, perasaan pilu yang berkecamuk di hatinya tidak mampu diungkapkan keluar. Dia menatap langit yang muram, kemudian mengeluarkan pedangnya yang panjang, menggantungnya di sebatang pohon, memanjatkan doa dalam hatinya : “Meskipun anda telah pergi buat selamanya, namun janjiku takkan pernah pudar dari hatiku. Semoga anda di surga, saat menatap pohon ini, masih teringat kala daku mengenakan sebilah pedang panjang ini, berpamitan denganmu”. Lalu dengan hikmat dia membungkukkan badan dan bersujud pada batu nisan, kemudian membalikkan badan dan beranjak pergi.    

Pengawal Ji Zha merasa sangat heran lalu bertanya padanya : “Raja Xu telah mangkat, anda menaruh pedang ini di sini, apa gunanya?” Ji Zha menjawab : “Meskipun beliau telah mangkat, namun hatiku pernah berjanji padanya. Raja Xu amat menyukai pedang ini, dalam hatiku berkata, setelah tugasku selesai, saya pasti akan kembali untuk mempersembahkan pedang ini kepadanya. Seorang ksatria harus dapat dipercaya dan memegang janjinya, mana boleh karena orangnya telah meninggal dunia, maka kita boleh mengingkari dan mengabaikan janji yang pernah diikrarkan sebelumnya?”

Sejak jaman dulu hingga sekarang, para insan suci dan bijak senantiasa mengajari kita, ikrar yang luhur selalu tercermin dari lubuk hati yang paling mendalam. Serupa dengan Ji Zha, dia takkan karena mangkatnya Raja Xu, sehingga mengabaikan ketulusan dan kepercayaan yang wajib dimiliki sebagai manusia yang seutuhnya, apalagi janjinya itu diikrarkan dalam hati. Kepercayaan yang tinggi ini telah membuat generasi penerus menyanjungnya sekaligus menjadi terharu.  

Keberhasilan dan kegagalan seseorang bersumber dari ketulusan dan rasa hormatnya. Andaikata perkataan yang sudah diucapkan keluar namun tidak bisa dipegang, maka akan sulit dibayangkan, keberhasilan apa yang dapat dicapainya. Konfucius berkata : “Manusia yang tidak dapat dipercaya, apalagi yang dapat dilakukannya”. Insan yang tidak bisa dipercaya, akan serupa dengan kereta yang tidak mampu bergerak.

Di dalam “Zhong Yong (doktrin jalan tengah)” tercantum : “Tanpa kejujuran takkan ada yang dihasilkan”. Andaikata kekurangan hati yang jujur, dan kepercayaan yang harus ada, maka segala cita-cita dan karir sangat sulit berhasil.

Cara berbicara adalah cerminan dari dalam hati, kaitannya sungguh besar, dampaknya juga sangat mendalam. Zengzi (murid Konfucius) berkata bahwa saat kita berbicara, wajah kita akan memberikan kesan apa kepada orang lain, kaitannya sangat penting. Juga karena dia mencerminkan isi hati kita, diwujudkan keluar melalui prilaku dan ucapan, sehingga pendengar akan dapat menerka bagaimana isi hati si pembicara, maka itu dalam berbicara harus mawas diri.

Ucapan mencerminkan isi hati seseorang, hati baik maka prilakunya juga baik, demikian juga sebaliknya. Meskipun Ji Zha tidak mengutarakan keluar janjinya, hanya menyimpannya di dalam hati, namun dia tetap memenuhi janjinya, tanpa rasa berat mencabut pedangnya yang merupakan barang pusaka yang sulit untuk diperoleh kembali, lalu menggantungnya di pohon dan beranjak pergi. Bahkan berkata : “Hatiku pernah berjanji pada Raja Xu, mana boleh karena kepergian teman maka boleh mengabaikan ketulusan dan kepercayaan yang pernah ada?” Dalam ucapannya ini mengandung semangat akan sebuah kepercayaan, sehingga menjadi sebuah kisah indah yang tak terlupakan sepanjang masa.
  



季札掛劍


周代的季札,是吳國國君的公子。有一次,季札出使魯國時經過了徐國,於是就去拜會徐君。徐君一見到季札,就被他的氣質涵養所打動,內心感到非常地親切。徐君默視著季札端莊得體的儀容與著裝,突然,被他腰間的一把祥光閃動的佩劍,深深地吸引住了。在古時候,劍是一種裝飾,也代表著一種禮儀。無論是士臣還是將相,身上通常都會佩戴著一把寶劍。

季札的這柄劍鑄造得很有氣魄,它的構思精審,造型溫厚,幾顆寶石鑲嵌其中,典麗而又不失莊重。只有像延陵季子這般氣質的人,纔配得上這把劍。徐君雖然喜歡在心裡,卻不好意思表達出來,只是目光奕奕,不住地朝它觀望。季札看在眼裡,內心暗暗想道:等我辦完事情之後,一定要回來將這把佩劍送給徐君。為了完成出使的使命,季札暫時還無法送他。

怎料世事無常,等到季札出使返回的時候,徐君卻已經過世了。季子來到徐君的墓旁,內心有說不出的悲戚與感傷。他望著蒼涼的天空,把那把長長的劍,掛在了樹上,心中默默地祝禱著:「您雖然已經走了,我內心那曾有的許諾卻常在。希望您的在天之靈,在向著這棵樹遙遙而望之時,還會記得我佩著這把長長的劍,向你道別的那個時候。」他默默地對著墓碑躬身而拜,然後返身離去。

季札的隨從非常疑惑地問他:徐君已經過世了,您將這把劍懸在這裡,又有什麼用呢?季子說:雖然他已經走了,但我的內心對他曾經有過承諾。徐君非常地喜歡這把劍,我心裡想,回來之後,一定要將劍送給他。君子講求的是誠信與道義,怎麼能夠因為他的過世,而背棄為人應有的信與義,違棄原本的初衷呢?

自古以來,聖賢一再地教誨我們,高邁的志節往往是表現於內心之中。就像季札,他並沒有因為徐君的過世,而違背做人應有的誠信,何況他的允諾只是生髮於內心之中。這種「信」到極處的行為,令後人無比地崇敬與感動。

一個人成敗的根源,源於我們內心的誠與敬。如果連講話應有的信用都做不到,那很難想象,還有什麼樣的事情,能夠成就得了。孔子說:「人而無信,不知其可也。」沒有信用,就好像車子無法走動一樣。《中庸》說:「不誠無物。」如果缺乏真誠的心,與應有的信義,那任何的事業都很難成就。

語言是心靈的外在表現,關係重大,影響深遠。曾子曾經提到:「動容貌,斯遠暴慢矣。」我們在講話的時候,容貌予人什麼樣的感覺,至關重要。也正是因為它代表著我們的心,從我們的行為容止與言語意涵,對方就能夠透析說話之人的內心世界,所以我們的言語一定要謹慎。

言為心聲,言語是內心至情的表白,要明晰地洞視、了知為人真實的品操,就要關注人的內心世界。心善,行為就善,心惡,行為自然偏頗。在這個耐人尋味的故事中,雖然季札內心想要將劍送給徐君,但是他並沒有言語上的承諾,更何況當時徐君已經過世了。然而他仍然信守著內心的諾言,不惜捨去千斤難買的寶刀,將它掛在樹上,悵然而去。並且說道:我的心中有過對徐君的許諾,怎麼能夠因為朋友的離去,而背棄曾有的誠信呢?在這落落而言、擲地有聲的三言兩語中,信義的精神,確已傳揚萬古而不朽。